Anjloknya harga lelang gula petani tebu rakyat (PTR) ditengah masa panen raya tebu yang kemudian diperparah dengan anjloknya tingkat rendemen tebu rakyat akibat iklim basah, tidak hanya mengancam kehidupan petani tebu, namun juga keberlangsungan budidaya tanaman tebu dan industri gula nasional.
“Ibarat peribahasa ‘sudah jatuh, tertimpa tangga’ itulah gambaran nasib petani tebu saat ini,” kata Ketua Dewan Pembina Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Tebu Rakyat (DPP APTRI) H.M. Arum Sabil.
Sebagaimana diberitakan sebelumnya dalam lelang sebanyak 8.720.191 ton gula PTR dari 15 pabrik gula (PG) di lingkungan N11 (minus PG Kanigoro) yang dilaksanakan di Gedung Rapat Utama PT Perkebunan Nusantara (PTPN) XI. Harga terendah berada di level Rp 11.004 per kilogram dan tertinggi Rp. 12.189 perkilogram.
Dibanding lelang seminggu sebelumnya di PG Kebon Agung dimana harga lelang masih di level Rp. 12.775 perkilogram dan lelang di PG Madukismo pada level 12.350 perkilogram, harga yang terbentuk dalam pelaksanaan lelang di PTPN XI, terbilang turun drastis.
“Anjloknya harga lelang gula PTR tersebut diduga dipicu oleh masuknya 1.000 ton gula impor (white sugar) ex Thailand ke pasar Jatim pada level harga Rp 11.500 perkilogram ke pedagang dan mulai digilingnya raw sugar sebagai bahan baku gula putih oleh PT Kebun Tebu Mas (KTM) di Lamongan,” kata Arum.
Lebih dari itu, meurut Arum, penyebab lain anjloknya harga lelang gula PTR saat ini adalah maraknya izin impor yang diterbitkan pemerintah untuk 11 perusahaan gula rafinasi yang kapasitas terpasangnya saat ini sudah mencapai di atas 5 (lima) juta ton.
Tidak hanya itu, masih ada lagi izin impor yang di berikan pemerintah kepada institusi lain yang jumlahnya mencapai ratusan ribu ton.
“Jadi hal yang paling menyedihkan yaitu kenapa justru raw sugar tersebut tidak diproses sendiri tetapi di proseskan ke pabrik gula rafinasi dan pabrik-pabrik gula yang berdiri hanya sebagai kedok idle capacity,” keluh Arum.
Lebih lanjut, Arum mempertanyakan “kenapa pemerintah juga masih memberikan izin impor raw sugar kepada PG baru yang dibangun dengan alasan awal sebagai investasi namun belakangan ketahuan tujuanya hanya sebagai kedok untuk berburu izin impor raw sugar dengan alasan idle capacity dan commissioning?”
Melihat hal ini, Ketua DPP APTRI, Abdul Wahid berjanji pihaknya bersama-sama petani tebu akan mendesak pemerintah agar jangan sampai terkecoh oleh presepsi harga gula mahal yang sengaja dibangun oleh para pemburu fee rente impor gula untuk dijadikan argumentasi pembenaran melakukan impor gula secara brutal.
Melihat hal ini, APTRI akan mendesak Bulog dan PT PPI agar tidak dijadikan agen sindikat dari para mafia gula impor karena fakta yang terjadi di lapangan saat ini justru PPI dan Bulog terindikasi menjadi mesin pembunuh petani tebu dan industri gula dalam negeri yang berbasis tebu lokal.
“Selanjutnya, Petani Tebu mendesak pemerintah agar pabrik gula segera direvitalisasi dengan benar dan tanaman tebu secara bersamaan juga segera direvitalisasi dengan disediakan varietas unggul serta ketersediaan pupuk tepat waktu dan kredit murah dan mudah,” jelas Abdul.
Tak kalah penting, menurut Abdul adalah, petani tebu akan menuntut pemerintah agar PG baru yang tidak punya ladang tebu yang hanya sebagai kedok untuk memburu izin impor gula supaya ditutup dengan tidak memberi izin impor gula dengan alasan apapun.
Artinya, APTRI akan mendesak pemerintah agar izin impor gula harus berdasarkan kuota kebutuhan didalam negeri, bukan berdasarkan idle capacity.
“Kami perlu tegaskan tuntutan-tuntutan ini untuk mengingatkan bahwa jika pemerintah ingin melindungi konsumen, maka selamatkanlah petaninya. Karena petani dan pertanian adalah sumber pangan Indonesia,” pungkas Abdul. YIN