Jakarta, mediaperkebunan.id – Transformasi kelapa nasional harus dimulai dari penguatan petani rakyat sebagai aktor utama. Lulu Paputungan, Wakil Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Indonesia/Ketua Komite Tetap Ekspor dan Pertanian Berkelanjutan Kadin Indonesia menyatakan hal ini dalam FGD “Membangun Rantai Pasok Kelapa yang Berkelanjutan dan Bebas Deforestasi untuk Pasar Global”yang diadakan oleh Kadin dan APKI.
Sekitar 98,96% kebun kelapa dikelola rakyat dengan mayoritas masih bekerja secara tradisional, tanpa sistem organisasi, tracebility atau regenerasi. Kebijakan sering tidak berpihak pada petani. Ketersediaan benih yang berkualitas, bersertifikat dan mudah diakses menjadi sangat penting.
Meskipun sampai saat ini kelapa tidak termasuk dalam komoditas yang diatur EUDR dan belum ada permintaan untuk tracebility tetapi tetap harus diantisipasi. Penyebabnya pasar global berubah dengan cepat sepert EUDR, ethical sourcing, zero deforestation.
“Kelapa belum disebut tetapi beberapa buyer sudah mensyaratkannya. Tanam kelapa sekarang, panen 3-4 tahun mendatang ketika regulasi sudah aktif. Jika petani tidak siap maka kelapa bisa ditolak atau dihargai murah,” katanya.
Perlu dukungan pemerintah, swasta dan mitra pembangunan untuk pemetaan dan geo-tag lahan kelapa rakyat; sosialisasi dan pelatihan petani soal EUDR dan tracebility, pembangunan sistem data dan digitalisasi lahan petani, kemitraan koperasi-pemerintah-buyer, insentif untuk petani yang siap tracebale.
“APKI siap berkolaborasi dengan investor, mitra bisnis dan mitra pembangunan untuk ekosistem kelapa berkelanjutan dan berkeadilan bagi petani,” katanya.
Contoh pembeli yang mensyaratkan keberlanjutan : Olam Group dengan platform AtSource yang melacak dampak sosial dan lingkungan dari petani hingga konsumen dan persyaratan pada supplier yang mengikat tanggung jawab sosial dan lingkungan; PepsiCo program pertanian regeneratif dan sumber berkelanjutan, ada verifikasi pertanian berkelanjutan dan tracebility untuk mendapatkan insentif; Corbion untuk bahan baku diwajibkan pemasok dan petani menerapkan pertanian berkelanjutan dan tanggung jawab terhadap lingkungan.
Beberapa negara yang sudah mulai menerapkan untuk kelapa adalah Srilanka dengan sertifikat organk dan fair trade untuk petani; Filipina pilot project geo tagging dan blockchain; Negara Bagian Tamil Nadu dan Kerala di India tracebility kebun lewat Organisasi Petani; di Indonesia fairfood uji coba di Bali dan NTB.
Indonesia sekarang nomor 2 baik dari sisi luas, produksi, ekspor turunan, sedang Filipina nomor 1. Produktivitas kelapa stagnan di angka 1,1 ton/ha. Ada 5,9 juta orang petani kelapa. Tanaman tidak menghasilkan, tua, rusak ada 378.191 ha sementara kemampuan peremajaan 6.000-10.000 ha/tahun.
Ekspor kelapa bulat 759,8 juta pertahun dengan pajak ekspor 0%. Sekitar 52,34% pemanfaatan dalam bentuk kopra untuk diolah jadi minyak kelapa. Sekitar 3,68 juta ton air kelapa dibuang dengan kehilangan potensi sebesar USD5,25 miliar. Potensi nilai ekonomi sabut kelapa/tempurung kelapa belum dimanfaatkan masing-masing USD320 juta dan USD373 juta.

