Saat ini harga kakao global sedang berada pada puncak tertinggi selama beberapa dekade terakhir. Seharusnya peluang ini dapat menjadi keuntungan bagi petani kakao di Indonesia, sayangnya petani kakao masih menghadapi berbagai ancaman yang mengganggu hasil produktivitas kakao. Berbagai tantangan yang dihadapi oleh petani mulai dari perubahan iklim, serangan penyakit, hingga akses terhadap pupuk menjadi penghalang untuk meningkatkan produktivitas hasil panen.
Perkumpulan Praktisi Profesional Perkebunan Indonesia (p3pi) dan Media Perkebunan membahas isu tersebut dalam sebuah webinar dengan judul “Ancaman Produktivitas Kakao di Tengah Harga Tinggi”. Berbagai narasumber turut dihadirkan mulai dari petani kakao, praktisi, hingga perwakilan Ditjenbun.
Hengky yang merupakan petani kakao dari Nusa Tenggara Barat menyampaikan bahwa walaupun harga kakao saat ini sedang tinggi, namun ancaman produktivitas kakao yang sangat besar. Beberapa tantangan yang dihadapi adalah busuk buah, penggerek buah kakao, dan jamur akar, serta perubahan iklim yang menyebabkan kekeringan dan curah hujan berlebihan.
“Ancaman kakao di tengah harga yang tinggi yang masih kita hadapi adalah berbagai macam penyakit seperti busuk buah, penggerek buah kakao, jamur akar, dan lain lain, begitupun dengan kekeringan. Iklim yang berbeda – beda kadang kekeringan, kadang hujan yang begitu lebat yang dapat membuat busuk buah,” ujar Hengky.
Selain itu, ia juga menyoroti masalah kenaikan harga pupuk dan pestisida akibat perang global, yang menambah beban para petani. Tantangan lain yang dihadapinya adalah krisis tenaga kerja. Menurut Hengky, semakin sulit menemukan tenaga kerja yang mau bekerja di perkebunan kakao, dengan banyak dari mereka yang beralih ke sektor lain, seperti industri perkebunan di Kalimantan.
“Untuk bisa mencegah berbagai penyakit di perkebunan kakao maka kebersihan kebun merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan. Untuk membersihkan kebukan maka dibutuhkan banyak tenaga kerja, sayangnya untuk mencari tenaga kerja saat ini sangatlah sulit. Kebanyakan tenaga kerja sudah pergi ke kalimantan sehingga kami kekurangan. Untung di kebun saya ada ibu – ibu yang tinggal di dalam kebun sehingga anak dan istri bisa membantu,” tambah Hengky.
Sementara itu, Fajar petani kakao dari Lampung menuturkan bahwa banyak perkebunan kakao yang masih menggunakan tanaman tua, yang berdampak pada rendahnya produktivitas meskipun harga kakao sedang tinggi. Ia berharap pemerintah lebih memperhatikan sektor kakao, terutama dengan menyediakan dukungan bagi para petani untuk meremajakan tanaman dan meningkatkan kualitas produksi.
Dalam kesempatan yang sama, Dini selaku Kepala Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia menegaskan pentingnya tata kelola berkelanjutan dan kolektif untuk menghadapi tantangan di sektor kakao. Menurutnya, fokus perlu diberikan pada peningkatan produktivitas, akses keuangan, dan penerapan teknologi untuk mendukung sistem yang lebih berkelanjutan.
“Kami berharap ada suatu konsep dengan pendekatan yang holistik. Aksi yang harus diambil adalah aksi strategic collective actions. Ada empat fokus yang perlu dijadikan suatu pendekatan holistik yakni pengawasan terhadap produktivitas pertanian, asuransi dan akses keuangan, keberlanjutan dan digitalisasi, dan saluran pasar logistik dan nilai tambah,” kata Dini.
Dini menambahkan bahwa sebaiknya petani kakao menerapkan regenerative agriculture untuk meningkatkan hasil produksi. Tidak hanya sustain tapi juga mengkonsepsikan degenerative kepada regenerative. Caranya dapat dilakukan dengan pengelolaan tanah berbasis konservasi, meningkatkan keanekaragaman hayati dengan konsep simple agroforestry, melakukan rotasi dan tanaman penutup tanah, dan mengurangi gangguan dari dynamic climate change.
Jakup Ginting selaku perwakilan Direktorat Tanaman Tahunan dan Semusim Ditjenbun memaparkan sejumlah program yang telah berjalan dalam satu dekade terakhir untuk mendukung pengembangan kakao di Indonesia. Program tersebut mencakup peremajaan, rehabilitasi, intensifikasi, serta perluasan perkebunan. Namun, ia mengakui bahwa dukungan masih dirasa kurang di lapangan, sehingga diperlukan kolaborasi dari berbagai pihak.
Rencananya pada tahun 2025, petani kakao akan mendapatkan alokasi pupuk subsidi sesuai dengan permentan 01 tahun 2024. Nantinya petani dapat mengusulkan RDK masing – masing daerah ke Direktorat Sarana dan Prasarana.
“Rencana pengembangan kakao di tahun 2025 nanti ada alokasi pupuk subsidi kakao sesuai dengan permentan 01 tahun 2024, nanti akan dialokasikan pupuk NPK yang diformulasikan khusus untuk kakao,” ungkap Jakup.
Dr. Dadang Gusyana, S.Si, M.P selaku praktisi p3pi menekankan bahwa meski harga kakao saat ini tinggi, tantangan yang dihadapi oleh para petani tidak boleh diabaikan. Penanganan kakao itu seperti merawat bayi sehingga membutuhkan perawatan harian, termasuk pembersihan dan sanitasi rutin. Namun, perhatian juga harus diberikan pada aspek lain seperti pemupukan, di mana formulasi pupuk yang tepat menjadi kunci untuk meningkatkan produktivitas. Dadang juga menggarisbawahi pentingnya pendekatan regenerative farming yang fokus pada keberlanjutan tanah.
Sejalan dengan hal tersebut, Dr. Ir. Gunawan Djajakirana, M.Sc.Agr selaku agronomis PT Artha Prima Humatindo menekankan bahwa degradasi tanah merupakan salah satu ancaman terbesar bagi produktivitas kakao. Menurutnya, sebagian besar tanah di Indonesia sudah dalam kondisi “sakit” akibat berkurangnya bahan organik yang esensial bagi mikroorganisme tanah. Tanah yang sehat adalah kunci bagi tanaman yang sehat. Jika tanah sudah rusak, sangat sulit untuk mengembangkan perkebunan yang baik. Ia menyarankan untuk memperbaiki kesehatan tanah dengan meningkatkan keanekaragaman hayati, menggunakan tanaman penutup tanah, dan mengurangi penggunaan bahan kimia beracun
Menutup sesi webinar, Dr. Soetanto Abdoellah selaku Ketua Umum Dewan Kakao Indonesia menyoroti peluang besar yang muncul dari kenaikan harga kakao hingga USD 11 per kilogram. Hal ini dapat dimanfaatkan dengan melakukan intensifikasi, rehabilitasi, peremajaan, dan penanaman baru untuk meningkatkan produktivitas. Namun, ia juga mengingatkan bahwa tantangan kualitas biji kakao dapat muncul jika petani tergesa-gesa menjual buah yang belum matang secara optimal.
“Ini adalah kesempatan bagi kita untuk meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani, serta mengurangi ketergantungan pada impor bahan baku,” tutur Soetanto.