Jakarta, mediaperkebunan.id – Analis keberlanjutan, Edi Suhardi sebut Presiden 2024 Indonesia harus adakan 4 strategi terobosan kebijakan sawit yang menurutnya penting. Edi mengatakan bahwa strategi terobosan kebijakan sawit yang koheren diperlukan untuk memenuhi target produksi yang harus meningkat tanpa mempengaruhi komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi karbon dan mempercepat transisi ke energi terbarukan.
Strategi yang pertama adalah meninjau kembali semua peraturan perundang-undangan yang terkait dengan minyak kelapa sawit dan merevisi peraturan-peraturan yang merugikan industri kelapa sawit. Menurut Edi, UU Cipta Kerja Pasal 110B merupakan salah satu hambatan regulasi utama untuk mencapai target engembangan bahan bakar nabati berbasis CPO.
Hal tersebut dikarenakan adanya penetapan bahwa perusahaan perkebunan kelapa sawit yang beroperasi di kawasan hutan meskipun memiliki izin atau di daerah yang melanggar rencana tata ruang pemerintah daerah atau nasional diharuskan membayar denda dan hanya diizinkan untuk melanjutkan produksi untuk satu siklus panen berikutnya, atau hingga 15 tahun.
Audit yang dilakukan oleh pemerintah baru-baru ini menyimpulkan bahwa ada 2.128 perusahaan perkebunan kelapa sawit yang sebagian besar berada di Sumatera dan Kalimantan dengan total perkebunan seluas 2,17 juta hektar yang harus mematuhi pasal 110B. Jika pasal tersebut tidak diubah agar perusahaan-perusahaan tersebut dapat memenuhi persyaratan untuk melanjutkan operasi, maka mereka akan terpaksa tutup, dan dengan demikian akan menyebabkan hilangnya produksi tahunan sekitar 6,9 juta ton.
Kedua, yaitu industri perkebunan kelapa sawit perlu diatur secara terpadu, mengingat peran kelapa sawit yang semakin penting dan vital dalam perekonomian sebagai penyedia lapangan kerja utama, komoditas ekspor terbesar kedua dan sumber bakaan, bahan bakar nabati, dan berbagai produk konsumen lainya. Apalagi, 42 persen dari total perkebunan kelapa sawit dimiliki oleh lebih dari lima juta petani kecil, maka industri ini perlu diatur secara terpadu.
Menurut sang Analis, pengaturan secara terpadu yang dimaksud baru dapat dilakukan jika semua kebijakan terkait industri kelapa sawit dirumuskan dan dilaksanakan oleh satu badan pemerintah. Pasalnya, saat ini terdapat sembilan lembaga asional yang secara langsung dan tidak langsung mengatur industri kelapa sawit, dimana kebijakannya bisa saling bersaing, tumpang tindih, bahkan bertentangan.
Salah satu contohnya adalah penyelesaian masalah perkebunan kelapa sawit di daerah-daerah yang tumpang tindih dengan lahan hutan, yang hanya ditangani oleh Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Karena misi dan tugas kementerian ini bertentangan dengan pengembangan kelapa sawit, maka kewenangannya dalam menyelesaikan masalah-masalah yang berkaitan dengan industri kelapa sawit harus diminimalkan.
Ketiga, yaitu kebijakan mengenai pengaturan penggunaan minyak kelapa sawit untuk berbagai keperluan, terutama biodiesel dan minyak goreng untuk keperluan domestik dan ekspor harus diselaraskan dan disinkronkan dengan kapasitas produksi nasional untuk mencegah persaingan yang tidak perlu. Dalam konteks ini, target produksi biodiesel berbasis CPO harus dikaji secara menyeluruh untuk mencegah terganggunya pasokan minyak sawit untuk konsumsi domestik dan ekspor.
Keempat, yaitu pertumbuhan produksi minyak sawit harus dipertahankan melalui upaya-upaya untuk meningkatkan hasil panen (produktivitas) dan perluasan perkebunan. Edi mengatakan bahwa perluasan atau pembukaan perkebunan kelapa sawit baru harus dilakukan terutama di provinsi-provinsi yang paling tertinggal di Papua.
Karenanya, status Papua sebagai High Forest Cover Landscape (HFCL) harus ditinjau ulang karena membuat sebagian besar wilayahnya sangat terlarang untuk perkebunan. Status Papua sebagai HFCL harus ditinjau ulang untuk memungkinkan penunjukan wilayah baru untuk pengembangan kelapa sawit berkelanjutan.
Strategi terobosan kebijakan sawit tersebut mungkin akan mengecewakan LSM-LSM lingkungan hidup dan dapat dianggap bertentangan dengan peraturan bebas deforestasi Uni Eropa. Namun, menurut Edi Indonesia memiliki kebutuhan yang sangat vital untuk mengembangkan kelapa sawit berkelanjutan di Papua karena hal ini merupakan salah satu cara yang paling efektif untuk mempercepat pembangunan ekonomi wilayah Papua agar dapat mencapai tingkat kemajuan yang telah dicapai wilayah Indonesia yang lain.