T-POMI
2020, 26 Mei
Share berita:

Alokasi dana BPDPKS untuk petani dibanding dana lainnya, apalagi dana untuk biodisel masih sangat jauh sekali. “Dana untuk petani sepertinya hanya pemanis saja untuk menyenangkan petani bahwa sudah dibiayai. Padahal proporsinya masih jauh sekali dibanding biodiesel,” kata Gamal Nasir, Ketua Pembina POPSI (Persatuan Organisasi Petani Sawit Indonesia terdiri dari Apkasindo Munas, ASPEKPIR Indonesia, SPKS, Samade dan JaPSBI).

Dana BPDPKS yang sudah disalurkan untuk biodiesel sampai Oktober 2019 adalah Rp29,2 trilun sedang untuk tahun 2020 dianggarkan Rp4,5 triliun. Sedang dana untuk peremajaan kelapa sawit sampai April 2020 Rp3,4 triliun. Tahun 2020 mulai ada dana untuk sarana prasarana petani dianggarkan Rp200 miliar. Anggaran lain seperti untuk SDM petani juga rendah.

Program biodiesel yang paling banyak menguras anggaran BPDPKS selalu diklaim ikut menguntungkan petani juga karena menaikkan harga TBS. Tetapi pada kenyataannya yang paling banyak menikmati keuntungan tetap perusahaan yang memproduksi biodiesel.

Gamal juga minta supaya dalam kondisi harga minyak bumi sedang rendah seperti sekarang program biodiesel dihentikan dulu dan dananya bisa dialihkan untuk peningkatan produktivitas petani. Tidak perlu menambah subsidi lewat APBN dan tambahan pajak ekspor.

Pemerintah sendiri lewat Menteri Keuangan menyatakan B30 akan tetap jalan sebagai dukungan untuk sektor usaha yang tertekan lewat desain Pemulihan Ekonomi Nasional. Untuk menutupi kekurangan sebesar Rp 3,54 triliun dipenuhi dari APBN Rp2,78 triliun dan Rp760 miliar dari tambahan pajak ekspor 5% berlaku sejak 1 Mei 2020.

“Kalau mau bantu petani yang paling nyata adalah bantu dana legalitas petani. Banyak petani yang berada dalam kawasan hutan. Bantu dana untuk mekanisme pelepasan kawasan hutan. Petani harus diurus terlebih dahulu. Legalitas adalah dasar bagi petani untuk mendapatkan bantuan pemerintah baik peremajaan, ISPO, sarana dan prasarana,” kata Gamal.

Baca Juga:  Pemerintah Dukung BUMR Berbasis Perkebunan di Pekalongan

Herman Khaeron, anggota Komisi VI-DPR RI menyatakan pembentukan BPDPKS ketika dibawa pada DPR periode lalu tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan produktivitas sawit rakyat yang waktu itu tertinggal jauh dibanding industri, apalagi dengan Malaysia. Tetapi pada pelaksanaanya saat ini alokasi dana lebih banyak ke industri biodiesel.

“Seharusnya alokasi dana sebagian besar untuk rakyat bukan industri. Tetapi kalau dialokasikan ke industri dan ternyata memberi manfaat yang lebih besar pada petani kenapa tidak. Fakta sekarang alokasi biodiesel lebih banyak menguntungkan pengusaha meskipun yang dipungut juga dari ekspor pengusaha,” katanya.

Karena itu DPR akan melakukan pengawasan yang serius terkait dengan BPDPKS. Selain itu akan mendorong keterlibatan petani dalam rantai pasok B-30. Petani juga diminta memberikan informasi dan data terkait BPDPKS dan program biodiesel.

Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit Indonesia, Mansuetus Darto, menyatakan program B30 ini hanya menguntungkan perusahaan kelapa sawit dan industri biodiesel saja. Dari 9,5 juta Kilo Liter produksi biodiesel untuk B30 tersebut semua bahan bakunya dari perusahaan sendiri yaitu perusahaan perkebunan kelapa sawit jejaring bisnis mereka.

Selama ini mereka mengklaim sudah melibatkan petani sebagai pemasok TBS yang kemudian diolah di PKS mereka dan diolah lagi di pabrik biodiesel. “Masalahnya mereka tidak bisa mengemukakan data yang detil dari koperasi petani mana saja bahan baku untuk biodiesel ini didapat,” katanya.

Masalah lainnya adalah BPDPKS salah satu dasar hukum pendiriannya adalah UU nomor 39 tahun 2014, yaitu UU Perkebunan. Dalam UU ini biodiesel tidak disebutkan tetapi masuk dalam PP, tetapi justru itu yang mendominasi pembiayaan.