Saat ini industri crumb rubber sudah terlanjur kelebihan kapasitas. Kapasitas terpasang mencapai 5,2 juta ton sedang pasokan bahan baku hanya 3,2 juta ton, atau ada kesenjangan sampai 2 juta ton.
Moenardji Soedargo, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Karet Indonesia mengakui bahwa saat ini kapasitas pabrik crumb rubber telah melebihi kapasitas sehingga sulit untuk melakukan bokar bersih. Hal ini terjadi karena dulu pemerintah melihat pendirian pabrik crumb rubber banyak menyerap tenaga kerja. Selain itu bisa meningkatkan nilai tambah karet di daerah tersebut. “Karena itu dulu pemda mudah sekali mengeluarkan ijin pendirian pabrik crumb rubber,” kata Moenardji.
Kesenjangan antara kapasitas terpasang dan pasokan bahan baku membuat pabrik pabrik karet maupun petani tidak bisa menjaga idealismenya untuk hanya menerima dan menghasilkan bokar bersih. Pabrik membutuhkan bahan baku sehingga mutu karet seperti apapun yang masuk diterima. Sedang petani gampang sekali menjual karet, bagaimanapun kualitas karet yang dihasilkan tetap akan diterima pabrik.
“Akibatnya sulit sekali membuat bokar bersih. Hal ini bukan berarti tidak bisa dan ada. Bokar bersih tetap ada tetapi jumlahnya sangat kecil, sulit sekali mendapatkanya dalam jumlah banyak,” jelas Moenardji.
Tidak ada satupun pihak yang diuntungkan dengan adanya bokar kotor. Masuk ke pabrik harganya dipotong karena yang dihitung hanya kadar karet keringnya saja. Pabrik terpaksa megolah lagi dengan mesin tertentu untuk membersihkan sehingga menambah daya listrik.
Hal ini membuat pabrik crumb rubber di Indonesia menjadi tidak efisien bila dibandingkan pabrik di negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand. Posisi pabrik karet di Indonesia menjadi unik karena menerima bokar kotor sedang di negara lain hanya menerima bokar bersih. Ketidakefisienan ini tidak bisa dibebankan ke konsumen tetapi ke petani dengan harga pembelian yang lebih rendah.
Hal ini juga mempengaruhi citra crumb rubber Indonesia di pasar internasional. Karena berasal dari bokar kotor, crumb rubber Indonesia dianggap kualitasnya lebih rendah ketimbang dari Malaysia dan Thailand. “Pada periode tertentu di pasar internasional SIR20 (Standar Indonesian Rubber)harganya didiscont dan lebih rendah daripada SMR 20(Standard Malaysian Rubber) dan STR20 (Standard Thailand Rubber). Discont harga ini dibebankan kembali pada petani,”pungkas Moenardji. S