Dalam bahasa batak ‘sira’ artinya garam. Ya, garam yang banyak manfaat bagi kehidupan. Memberi rasa, mengawetkan dan sederet manfaat yang menyehatkan. Asal dalam takaran yang tepat. Bila salah, bisa jadi sumber derita.
SIRA kali ini adalah Sawit Indonesia Ramah Anak. Berharap manfaat seperti garam itu. SIRA pilihan topik saya memperingati hari sawit nasional 18 Nopember. Tahun ini diperingati 112 tahun terhitung sejak tanam perdana 18-11-1911 di Sei Liput Aceh dan Pulau Raja Sumut.
Sudah jadi realita. Sawit disanjung dan dituding sekaligus. Ada banyak isu, sebab dan motif. “Sawit mempekerjakan dan mengeksploitasi anak” adalah salah satu tudingan yang menghadang.
Petani memiliki sawit nasional tidak kurang dari 42%. Selebihnya (58%) adalah perusahaan. Dalam hukum normatif, negara melarang mempekerjakan anak. Perusahaan hanya boleh merekrut dan mempekerjakan dewasa (di atas 17 tahun). Jadi kok bisa ada tudingan pekerja dan eksploitasi anak?
Tradisi petani membawa anak ke lahan (pertanian dan perkebunan keluarga) adalah hal biasa. Tetapi bukan untuk mempekerjakan mereka apalagi untuk eksploitasi. Hal yang sama bagi anak yang ada di tengah kebun sawit milik petani. Kehadiran mereka bagian dari tradisi, edukasi dan regenerasi. Sekali lagi bukan untuk eksploitasi sebagaimana ditudingkan banyak pihak. Sebuah tudingan yang merugikan. Terlebih lagi, masa depan sawit juga tergantung dari keberhasilan para petani dalam regenerasi.
Oleh karena itu program dan kampanye SIRA perlu dilakukan secara gotong royong. Salah satu gerakan penting digagas oleh Pemerintah BAPPENAS bernama PAACLA (Partnership for Action Against Child Labour in Agriculture). Sebuah gerakan multipihak termasuk melibatkan sejumlah LSM Perlindungan Anak. GAPKI sebagai organisasi pengusaha, bahkan menjadi salah satu komite pengarah (steering commitee).
Kehadiran GAPKI sangat strategis. Ada banyak contoh praktek baik dan jejak tentang fasilitas anak di perkebunan sawit. Dari penitipan anak, tempat bermain, klinik, TK bahkan sekolah setingkat SLTA. Semua ini perlu diamplifikasi sehingga dapat dipahami, dicontoh dan dilakukan semua pekebun sawit termasuk petani. Sebagai langkah konkrit, tahun 2021 GAPKI menyusun dan menerbitkan Panduan dan Praktek Baik Sawit Indonesia Ramah Anak.
Gerakan PAACLA menjadi penting sekaligus membantah tudingan. Mempromosikan fakta sebenarnya. Juga menjadi benteng supaya proses tradisi, edukasi dan regenerasi dilakukan dengan tepat dan tidak terjebak. Perlu dipastikan dengan tetap mengutamakan masa depan anak melalui pendidikan dan memenuhi hak anak lainnya.
‘Jebakan pekerja anak’ masih menjadi pekerjaan rumah dunia. Data organisasi buruh dunia ILO, menyebutkan bahwa wilayah perdesaan (pertanian) sangat rentan dengan ‘jebakan pekerja anak’. Data ILO 2021, sebanyak 76.7% pekerja anak berada di perdesaan (rural). Dan 72.1% berada dalam aktivitas ekonomi keluarga (family work). Penyebab utama adalah faktor ekonomi atau kemiskinan. Ditambah minim pengetahuan dan infrastruktur di perdesaan. Kabar baiknya, terjadi penurunan jumlah pekerja anak dunia. Tahun 2000 tercatat 245.5 juta dan turun menjadi 160 juta tahun 2020 (ILO, 2021).
Bagaimana dengan Indonesia? Data BPS 2022, jumlah pekerja anak dilaporkan (semua sektor) 1.05 juta. Turun 3.8% dibanding tahun sebelumnya. Disebutkan ‘hanya’ 27.6% berada di sektor pertanian perdesaan. Berkebalikan dengan data rerata ILO bahwa sebesar 76.7% di perdesaan. Situasi yang bisa jadi karena peran sawit di sana. Namun akar soal jebakan pekerja anak masih sama: kemiskinan dan kekurangan pengetahuan dan sarana.
SIRA bukan saja penting bagi sawit berkelanjutan. Sawit terbukti sanggup memberantas kemiskinan. Menciptakan kesejahteraan. GAPKI aktif mendukung pemerintah dalam pencegahan pekerja anak di sejumlah program: Kabupaten Layak Anak, Sertifikasi ISPO, PAACLA dan Buku Panduan SIRA. Sulit dibantah, sawit salah satu gerbang menuju Generasi Emas 2045 yang kita dambakan.
Sumarjono Saragih
• Ketua GAPKI Nasional Bidang Pengembangan Manusia
• Chairman Founder WISPO (Worker Initiatives for Sustainable Palm Oil)