2016, 19 Desember
Share berita:

Dalam meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman tebu, masih terkendala oleh adanya serangan organisme pengganggu tumbuhan (OPT). Gangguan OPT tersebut dapat menimbulkan kerusakan berarti yang pada akhirnya menimbulkan kerugian hasil dan pendapatan petani.

Salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah adanya serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) penyakit tebu yaitu penyakit mosaik oleh Sugarcane Mosaic Virus (SCMV) dan penyakit mosaik bergaris oleh Sugarcane Streak Mosaik Virus (SCSMV). Kedua penyakit tersebut bersifat sistemik dan dianggap penyakit yang kurang penting. Gejala mosaik pada SCMV lebih panjang dan lebar dan bila daun mengalami klorosis akan berwarna sampai kemerahan. Sedangkan gejala mosaik pada SCSMV lebih pendek dan halus dan klorosis tidak sampai berwarna kemerahan.

Gejala umum penyakit mosaik pada tebu meliputi garis-garis transparan pada helaian daun tebu yang bewarna hijau muda, kuning atau putih yang berselang seling dengan warna hijau yang normal pada daun tebu.Gejala yang paling khusus adalah perbedaan pola pada warna hijau atau daerah kuning klorosis pada hijau daun. Pada umumnya, daerah klorosis menyebar, tetapi bisa jadi tampak lebih jelas pada beberapa koloni yang terinfeksi oleh beberapa strain virus. Daerah klorosis paling jelas tampak pada dasar daun. Daerah klorosis juga bisa hadir pada pelepah daun, tetapi jarang terdapat pada batang. Tanaman muda yang tumbuh dengan cepat lebih rentan terinfeksi dibandingkan tanaman yang lebih tua yang pertumbuhannya lebih lambat.

Kerugian hasil sangat bervariasi, tingkat serangan penyakit mosaik > 50% dapat menurunkan hablur sebesar 9%. Sedangkan pada tingkat serangan yang sama, penyakit streak mosaik dapat menurunkan bobot tebu minimal 15%.

Adapun cara utama penyebaran penyakit mosaik tersebut ada tiga hal. Pertama, vektor aphid. Kedua, bibit tebu yang terinfeksi dan terakhir mealui inokulasi mekanik. Hanya penyebaran melalui vektor aphid dan bibit tebu yang terinfeksi yang paling sering ditemukan di lahan.

Pengamatan penyakit sangat diperlukan sebelum melakukan pengendalian dengan tujuan untuk mendapatkan tanaman tebu sehat, mendapatkan gambaran perkembangan dan serangan penyakit tebu, dan mengantisipasi adanya penyakit baru pada tanaman tebu yang belum pernah dijumpai di Indonesia. Cara menghitung intensitas serangan (IS) penyakit SCMV dan SCSMV adalah sebagai berikut:

IS (%) = Jumlah rumpun yg terserang x 100
Jumlah rumpun yg diamati

Misal: Jika dalam 1 juring ada 20 rumpun dan jumlah rumpun yang sakit/terserang sebanyak 2 rumpun, maka IS = 2/20 x 100% = 10%.

Sedangkan hal-hal yang penting dalam pengamatan penyakit SCMV dan SCSMV antara lain, pertama tidak semua gejala tidak normal adalah penyakit. Kedua, kapan gejala pertama kali muncul? Ketiga, teliti gejala pada daun. Keempat, cermati segala kemungkinan (bahan kimia dan pupuk yang diaplikasikan).

Kelima, cari jawaban lain mengapa muncul gejala (petir, panas, dingin, dan lain-lain). Keenam, pola sebaran gejala (di luar kebun, di dalam kebun, jenis tanah, sejarah varietas, dan lain-lain). Ketujuh, apakah tanam tumbuh baik meski ada gejala tidak normal, untuk menentukan penyakit tidak penting atau justeru varietas tebu yang toleran; dan terakhir temukan gejala khas dan cocokkan dengan buku panduan/tanyakan kepada narasumber yang ahli.

Pada kebun bibit, kriteria intensitas serangan penyakit adalah bebas penyakit SCMV dan SCSMV, penggerek batang < 5%, dan noda daun < 10%, serta jika ada serangan daun hangus, kelaras daun sakit, maka tidak boleh disertakan pada bibit. Kriteria serangan ringan kedua penyakit tersebut sebesar 0 – 5%, sedang >5 – 10%, berat >10 – 20%, dan sangat berat >20%.

Sedangkan pengelolaan penyakit SCMV dan SCSMV dilakukan dengan upaya pencegahan dan penyembuhan. Adapun upaya penyembuhannya terdapat delapan cara. Pertama, penanaman varietas yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan ketahanan sistemik tanaman terhadap infeksi patogen.

Kedua, budidaya tebu yang baik seperti penggunaan bibit sehat, desinfeksi pisau pemotong bibit, dan drainase kebun yang baik. Ketiga, sanitasi kebun.Keempat, tidak menanam satu varietas dalam satu kebun yang sangat luas atau dengan penanaman tanaman sela (barrier crops) seperti tanaman jagung dan palawija lainnya.

Kelima, tidak menanam varietas yang peka penyakit mosaik seperti PS 864 dan PS 861, tetapi yang agak tahan seperti Bulu Lawang, Kidang Kencana, dan Cening. Keenam, pengamatan penyakit rutin. Ketujuh, pergiliran tanaman atau pemberoan lahan.

Terakhir, eradikasi atau pemusnahan bagian tanaman yang sakit atau terserang, perbaikan lingkungan tumbuh seperti perbaikan pH tanah, dan aplikasi pestisida untuk serangan penyakit pada pertumbuhan awal. Penulis: Alimin, S.P., M.Sc.