T-POMI
2023, 31 Maret
Share berita:

Jakarta, Mediaperkebunan.id

 Indonesia sudah menggugat kebijakan Uni Eropa terkait isu Indirect land use change (ILUC) yang menjadi cikal bakal dari EUDR (Eroupean Union Deforation Regulation). Materi gugatan DS593 ini seperti dinyatakan oleh Deputi Menko Perkekonomian bidang Pangan dan Agribisnis, Dr. Musdhalifah Machmud dalam sebuah webinar, adalah cenderung ditujukan kepada negara penghasil minyak sawit dan penggunaan data yang tidak akurat dan masih bersifat asumsi.

Gamal Nasir, Ketua Dewan Pembina POPSI (Perkumpulan Forum Petani Kelapa Sawit Jaya Indonesa) menyatakan menghadapi situasi seperti ini sambil menunggu proses gugatan WTO maka sebaiknya semua pemangku kepentingan kelapa sawit juga harus berbenah. Terutama pemerintah sebagai regulator.

Kebijakan ini memang diskriminatif dan  sudah tepat indonesia menggugat ke WTO.  Petani kelapa sawit pasti akan sangat terdampak. Regulasi UE bila dilaksanakan tanpa melihat kondisi Indonesia hanya akan mengabaikan upaya dan usaha perbaikan yang telah dilakukan  khususnya untuk petani.

UE harus memberikan dorongan untuk peningkatan kepatuhan dan hukum terhadap keberlanjutan.  Semua pemangku kepentingan harus menerapkan prinsip semua ikut serta, tidak boleh ada yang tertinggal (leave no one behind) dalam sustainable.

Kebijakan – kebijakan yang perlu dilakukan oleh pemerintah yaitu  melakukan pemetaan tata guna lahan yang akurat serta diikuti implementasi yang ketat dalam kaitan dengan pengembangan kelapa sawit kedepan. Pemerintah harus memastikan implementasi kebijakan secara tegas terkait pelarangan pemanfaatan kawasan high conservation value dan high carbon stock. Harus ada regulasi khusus menyangkut hal ini.

Pemerintah memastikan legalitas lahan perkebunan sawit rakyat yang terlanjur berada dalam kawasan hutan melalui kebijakan pelepasan kawasan hutan sesuai regulasi yang berlaku. Harus ada kebijakan pelepasan kawasan hutan untuk kebun rakyat.

Baca Juga:  Indonesia Siap Hadapi Sidang WTO Soal Sawit

Pemerintah memastikan untuk membangun ketelusuran kelapa sawit dari hulu ke hilir berbasis dokumen dan sistim informasi yang transparan, akuntabel dan bertanggung jawab. Semua PKS diwajibkan memiliki ketelusuran asal usul tersebut dengan menggunakan dokumen dan sistem informasi. Bangun sistim informasi yang memastikan rantai pasok dari hulu sampai hilir sehingga tracebility jelas.

“Khusus ISPO pemerintah harus serius dengan regulasi yang sudah dibuat. Tahun 2025 sudah wajib bagi pekebun tetapi sampai sekarang belum ada gerakan ke arah sini sehingga membuat banyak pihak pesimistis. Segera bergerak menyiapkan petani supaya bisa bersertifikat ISPO tahun 2025,” katanya.

Pahala Sibuea Ketua Umum POPSI, menambahkan dalam mengadapi Undang undang Deforestasi UE ini kita tidak perlu emosional namun kita perlu diplomasi yang kuat, kita tunjukan bahwa sebelum terbitnya Undang – Undang Deforestasi UE ini kita sudah melakukan perbaikan tatakelola sawit menuju sustainable, ini diawali dengan terbitnya regulasi RAN-KSB (Inpres No. 6 Tahun 2019) dan regulasi ISPO (perpres No. 4 tahun 2020 dan Permentan No. 38 tahun 2020).

“Hanya tinggal pelaksanaannya apakah pemerintah dan stakeholder sawit lainnya dapat membiayai, sedangakan kami dari POPSI siap melaksanakan regulasi tersebut.,” katanya.

“Selain itu untuk ketelusuran (tracebility) kami lihat bisa di lakukan yang di perlukan adalah big data petani dengan konsep by name by adress by polygon ini sesuai dengan konsep pendataan surat tanda daftar budidaya (STDB). Ttetapi saat ini masih memiliki hambatan selain pendanaan implementasi juga keterbukaan data pribadi,” kata Pahala lagi.

Data perusahaan saja tidak bisa transparan apa lagi petani, namun hal ini harus dilakukan. POPSI sedang melakukan pembuatan Aplikasi untuk mewujudkan Big Data Petani sehingga  dapat memetakan petani sawit dalam pembinaan dan pendampingan.

Baca Juga:  PSR Dorong Peningkatan Ekonomi Petani

Ekspor minyak sawit Indonesia ke Eropa antara 2 – 3 juta ton pertahun, tahun 2022 sekitar 2,05 juta ton (data BPS), walaupun tidak signifikan jumlah impor mereka, namun Undang-Undang Deforestasi UE itu, perlu kita antisipasi agar tidak berpengaruh terhadap negara – negara peng-impor minyak sawit Indonesia. Dan bila ditelusuri lagi saat ini sudah ada petani yang telah menerapkan sertifikasi ISPO dan RSPO bahkan ada petani anggota POPSI di bawah keanggotaan SPKS yang melakukan praktek perlindungan hutan dan berkomitmen pada nol deforestasi.

“Regulasi RAN-KSB dan  ISPO yang telah di terbitkan pemerintah dapat menciptakan program perbaikan tatakelola sawit, namun kami lihat ini belum berjalan dengan baik karena tidak di dukung dengan pendanaan. Kami dari POPSI meminta komitmen pemerintah dan stakehoder Sawit lainnya untuk mengalokasikan dana dalan melaksanakan regulasi yang sudah diterbitkan.,” kata Pahala.