Bertepatan dengan ulang tahun Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-75, 17 Agustus 2020, para perwakilan petani dan anak-anak petani karet rakyat Indonesia mendeklarasikan berdirinya Asosiasi Petani Karet Rakyat Indonesia disingkat APKRI. APKRI adalah wadah perjuangan untuk turut mewujudkan cita-cita mencapai keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Perjuangan ini akan ditempuh melalui misi organisasi: (1) memupuk rasa kekeluargaan dan persaudaraan di antara sesama petani karet, (2) menjunjung tinggi prinsip kegotong-royongan dan saling bantu-membantu dalam mewujudkan cita-cita bersama, (3) saling belajar dan berbagi pengalaman untuk meningkatkan produktifitas, effisiensi dan nilai pertanian karet, dan (4) saling berbagi informasi dan bahu-membahu dalam memperjuangkan hak-hak petani karet rakyat.
Deklarasi dilaksanakan secara daring dan di hadiri oleh perwakilan dari berbagai daerah sentra pertanian karet rakyat, yakni Sumatra Utara, Sumatra Selatan, Lampung, Bengkulu, Riau, Aceh, Kalimantan Timur dan Banten.
Indonesia merupakan eksportir karet terbesar di dunia setelah Thailand, dengan total ekspor sekitar 3.5 juta ton per tahun. Sekitar 85% dari produksi berasal dari petani rakyat yang melibatkan sekitar 10 juta petani kecil.
“Kendati bangsa ini telah 75 tahun merdeka, namun petani karet rakyat dan buruh pekerja di perkebunan karet masih banyak yang menderita akibat dari permainan harga yang tidak dapat dimengerti oleh rakyat dan petani kecil,” kata Presiden APKRI, Dr Suyanto Mahdiputra.
Menurut anak petani karet dari Lampung ini, APKRI hadir sebagai wadah bagi para petani kecil di tingkat grassroot untuk saling bahu-membahu, belajar dan berbagi pengalaman untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam bertani karet secara mandiri.
Sekjen APKRI, Mahmuzin Tahir yang berasal dari Meranti, Riau, menyampaikan bahwa lahirnya APKRI didorong oleh rasa senasib dan sepenanggungan di antara sesama petani dan anak-anak petani karet rakyat yang kian hari kian terpukul dengan jatuhnya harga karet.
“Harga karet di daerah Meranti saat ini terpuruk hingga di bawah Rp 5.000 rupiah per kg, padahal di tahun 2018 pernah terjadi lonjakan hingga Rp 15.000 di tingkat petani.Organisasi APKRI diharapkan dapat menjadi wadah bagi perjuangan petani karet dalam usaha mencari kelayakan dan keadilan dalam usaha pertanian karet kerakyatan,” kata Mahmuzin.
Dr. Saharman Gea, dosen dan peneliti menyatakan petani karet Indonesia berada pada posisi terlemah dan tidak mempunyai bargaining position yang baik di dalam mata rantai perdagangan, terlebih harga jual karet saat ini sangat dipengaruhi oleh pasar di luar negeri. “Pemerintah harus dapat membantu petani karet dengan mendorong terciptanya peningkatan konsumsi dalam neger,” kata Saharman.
Direktur Litbang APKRI, Dr Ediyanto minta program aspal karet terus didorong.”Jika saja Pemerintah dapat mendorong PU untuk memanfaatkan karet sebagai bahan substitusi aspal untuk kebutuhan pemeliharaan jalan di dalam negeri, mungkin kita tidak perlu ekspor lagi dan harga karet domestik dapat distabilkan,” katanya.