2023, 27 Januari
Share berita:

JAKARTA, Mediaperkebunan.id – Sesuai Putusan Mahkamah Konstitusi No. 34/PUU-IX/2011, apabila ada hak-hak perorangan seperti SHM, HGU, HGB dan hak lainnya yang diklaim masuk kawasan hutan, maka sudah menjadi kewajiban Pemerintah untuk mengeluarkannya dari kawasan hutan supaya tidak menimbulkan kerugian bagi masyarakat.

Demikian dikatakan Pakar Hukum Kehutanan dan Pengajar Fakultas Hukum Universitas Al Azhar Indonesia Jakarta, Dr Sadino, SH, MH di Jakarta, Jumat (27/1). Menurutnya, berdasarkan putusan MK apabila ada hak SHM, HGU, HGB dan hak lainnya yang diberikan berdasarkan Peraturan Daerah (Perda) sah menurut hukum dijamin dan dilindungi oleh UUPA.

“Jika diketemukan kebun sawit rakyat atau perusahaan yang sudah memiliki hak atas tanah tidak dalam kategori melanggar hukum. Maka konsep penyelesaiannya adalah pengeluaran kebun sawit tanpa syarat. Dan bukan seperti yang terjadi saat ini harus mengajukan pelepasan Kawasan hutan dan dibebani membayar PNBP,” jelas Sadino.

Menurut Sadino, bagi yang sudah ada hak atas tanah, istilah penyelesaian kebun sawit dalam Kawasan hutan adalah tidak tepat, dan yang tepat adalah Kawasan hutan yang masuk dalam kebun sawit sesuai kaidah dan norma hukum sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-IX/ 2011.

Putusan MK telah mengubah kewenangan Menteri Kehutanan agar pelaksanaan penetapan suatu kawasan menjadi kawasan hutan yang mengacu kepada Pasal 4 ayat (3) UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan tetap memperhatikan hak atas tanah yang diberikan sesuai peraturan perundang-undangan. Sejak tahun 2012, Pasal 4 ayat (3) dinyatakan tidak berlaku dan tidak mengikat. Putusan MK berlaku sejak tanggal diputuskan yang bersifaf final.

“Penyelesaian ini telah diatur dalam Pasal 110A UU No 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Perpu Nomor 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja. Harus menuju kesana, karena hanya menekankan persyaratan izin lokasi dan/atau Izin Usaha Perkebunan. Tapi pada tahap implementasi dijalankan tidak sesuai dengan semangat dan tujuan UUCK dan Perpu 2 tahun 2022 tentang Cipta Kerja,” papar Sadino.

Lebih lanjut Sadino mengatakan, dalam menjalankan UUCK tentunya klasifikasi hak atas tanah harus diperhatikan agar tidak menyebabkan timbulnya konflik baru dalam system usaha di Indonesia.  Terutama dalam insentif lahan sebagai bagian insentif kegiatan investasi.

Jika produk yang diberikan oleh negara seperti Hak Atas Tanah tidak dilindungi, maka akan terjadi sengketa hukum di pengadilan yang membuat tidak terlindunginya investasi. Produk negara akan diuji melalui sengketa di pengadilan, baik terkait hak keperdataan maupun sengketa hukum administrasi.

“Dengan demikian penyelesaian kebun sawit dalam UUCK ada 2 jenis yaitu: pertama, penyelesaian kebun sawit dalam Kawasan hutan, dan kedua, penyelesaian Kawasan hutan dalam kebun sawit,” kata Sadino.

Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Dr Budi Mulyanto menambahkan, dasar dari penetapan kawasan hutan adalah pengukuhan, dan bukan penunjukan seperti selama ini diterapkan.

“Konsep penunjukan yang selama ini diberlakukan, punya persoalan, yakni terlihat legal tapi tidak legitimate atau pengakuan sangat rendah dari masyarakat,” katanya.

Menurut Prof Budi, tata batas adalah proses hukum dan bukan proses teknis oleh karena itu batas harus ditentukan dan disepakati oleh pihak-pihak yang berbatasan dengan menerapkan azas contradictiore delimitatie.

“Persoalan tata batas selalu tidak tuntas, karena dalam praktiknya terdapat dualisme kebijakan pertanahan di Indonesia,” tegasnya.