2016, 22 Oktober
Share berita:

Perkebunan kelapa sawit merubah daerah pinggiran atau pelosok yang terbelakang, terisolasi dan miskin menjadi pusat pertumbuhan baru pedesaan.

Salah satu program Nawacita Jokowi saat ini membangun daerah pinggiran atau keterbelakangan. Perhatian pada daerah tersebut bukan hanya tepat, tetapi juga memiliki misi kenabian dan kenegarawanan. Disebut misi kenabian karena pembangunan daerah pelosok atau pinggiran merupakan tugas kemanusiaan, membangun harapan dan kehidupan masa depan yang lebih baik. Merubah pesimisme menjadi optimisme dan mengubah “pasir” menjadi mutiara. Selain itu juga merupakan tugas kenegarawanan karena hal ini amanah konstitusi dasar yakni membangun seluruh tumpah darah Indonesia termasuk daerah pelosok-pinggiran; jauh dari kepentingan politik ataupun pencitraan.

Daerah pelosok sering juga disebut sebagai daerah pinggiran, karena terpinggirkan atau terabaikan dari seluruh aspek pembangunan. Masyarakat yang tinggal di daerah pelosok yang umumnya adalah etnis lokal, hidup secara subsisten, miskin dan terbelakang. Bagi mereka yang sering blusukan ke daerah-daerah pelosok, tahu persis bahwa daerah pelosok tidak ada tanda-tanda kehidupan. Terbelakang dalam semua hal, terisolasi dan miskin. Terisolasi bukan hanya dari segi akses keluar masuk, tetapi juga terisolasi dari pusaran ekonomi.

Membangun daerah tertinggal dan terisolir tidaklah mudah. Akses yang belum terbuka, infrastruktur jalan dan jembatan yang belum ada, kegiatan ekonomi yang belum bergerak, SDM yang tak tersedia secara lokal, hampir tidak menarik bagi investasi pada umumnya. Bahkan daerah yang demikian umumnya bukan prioritas investasi pemerintah.

Pada daerah yang demikianlah perkebunan kelapa sawit selama ini dikembangkan. Jika saat ini daerah-daerah sentra perkebunan sawit sudah menjadi maju, pada awalnya adalah daerah terbelakang dan terisolir. Hal tersebut masih dapat dilihat jika pergi ke daerah-daerah pengembangan baru kebun sawit seperti di Sumatera, Kalimantan maupun Sulawesi.

Sebagai kegiatan pionir di daerah terbelakang dan terisolir, pembangunan perkebunan sawit memerlukan investasi besar, karena harus memulai dari nol. Seperti membangun jalan dan jembatan, bangun sekolah, bangun klinik, fasilitas sosial, bangun air minum, bangun rumah, setelah itu baru mulai menanam sawit.
Setelah jalan masuk terbuka dan investasi perkebunan sawit berlangsung, masyarakat luarpun mulai masuk untuk kegiatan perdagangan khususnya memasok kebutuhan karyawan kebun. Pada titik ini kegiatan ekonomi mulai mengggeliat dan putarannya makin cepat meluas, dengan makin banyaknya masyarakat (termasuk etnis lokal) yang ikut meramaikan pembukaan kebun-kebun sawit baru.

Evolusi perkembangan daerah pinggiran tersebut setelah investasi sawit masuk, secara bertahap akan terjadi pertumbuhan desa-desa baru, kecamatan baru bahkan kota kabupaten baru dan menjadi pusat-pusat pertumbuhan baru.

Kawasan-kawasan pedesaan berikut seperti Sungai Bahar ( Jambi), Sungai Pasar dan Lipat Kain (Riau) yang dulu terbelakang kini menjadi pusat pertumbuhan baru yang berbasis minyak sawit. Demikian juga, Pematang Panggang dan Peninjauan (Sumatera Selatan), Arga Makmur (Bengkulu), Paranggean (Kalimantan Tengah), yang sebelumnya terbelakang kini berubah menjadi pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru. Tahun 2014 lalu, sekitar 50 sentra perkebunan sawit telah dikukuhkan Kementerian Transmigrasi dan Tenaga Kerja sebagai kawasan pertumbuhan baru di pedesaan.

Evolusi perkembangan desa-desa terbelakang yang demikian menjadi pusat pertumbuhan ekonomi baru berbasis minyak sawit sedang berlangsung di 190 kabupaten di Indonesia. Dengan “program membangun dari pinggiran” dari pemerintahan Jokowi saat ini, selain meng-endorse apa yang dilakukan kebun sawit selama ini juga menginjeksi spirit baru untuk perluasan kedepan. Sumber: indonesiakita.or.id/YIN