T-POMI
2022, 26 Juli
Share berita:

Nunukan, mediaperkebunan.id – Benar bahwa komoditas perkebunan telah membuktikan diri sebagai penyumbang pendapatan negara yang tidaklah kecil. Bahkan badan Pusat Statistik (BPS) merilis ekspor pertanian apabila dihitung secara kumulatif, yakni dari Januari sampai April 2022 mengalami kenaikan bahkan mencapai 11,93 persen atau dengan total share mencapai 1,66 persen. Dari angka tersebut didominasi oleh sub sektor perkebunan seperti kelapa sawit, kopi, kakao dan rempah-rempah.

Namun, sangat disayangkan dari tingginya jumlah ekspor tersebut masih terdapat perdagangan ilegal, yang seharusnya bia menambah pendapatan negara lebih besar lagi. Perdagangan ilegal tersebut terdapat dibeberapa titik diantaranya di Pulau Sebatik, Provinsi Kalimantan Utara.

Subandi, petani kelapa sawit asal Pulau Sebatik mengakui bahwa perdagangan tersebut sudah ada sejak lama. Perdagangan di Pulau Sebatik dukasai oleh tiga orang pengepul yakni Afat, Rustam dan H Bungatam.

Memang dahulu, sebelum adanya pabrik kelapa sawit (PKS) di Pulau Sebatik semuanya dijual ke sana (Malaysia), tapi mengapa setelah ada PKS didalam negeri masih menjual TBS ke luar negeri bai dari jalur darat ataupun jalur sungai.

“Jadi dari tiga pengepul tersebut, hanya Alfat yang sekarang menjual tandan buah segar (TBS) di dalam negeri (Indonesia) keduanya masih menjual TBS ke seberang,” tambah Subandi.

Lebih lanjut, Subandi menceritakan, dirinya pun menjadi petani kelapa sawit sudah sejak lama. “Saat itu saya menjadi petani dengan bantuan benih saat pemerintahan Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Memang dahulu sebelum ada PKS di Pulau Sebatik saya pun menjualnya ke negara sebalah. Tapi setelah ada PKS didalam negeri mengapa harus menjual ke negara sebelah, sedang awal berkebun seperti benih dan pupuk diberikan dari Indonesia,” tegas Subandi.

Baca Juga:  DIGITALISASI KUNCI AKSELERASI PEMBANGUNAN PERKEBUNAN

Maka, menurut Subandi, jika didalam negeri sudah ada PKS mengapa harus menjual ke luar negeri? Apalagi bibit dan pupuknya saat awal mendirikan kebun semuanya diberikan dari dalam negeri (Indonesia). Jadi mengapa hasilnya harus dijual keluar negeri.

Selain itu, Subandi juga menerangkan, mengapa masih ada petani yang menjual TBS ke negara sebelah atau Malaysia karena akses yang lebih dekat mudah dan selisih harga antara PKS di Indonesia dengan Malaysia.
Contoh, jika penetapan harga TBS di Kalimantan Utara antara Rp 1.300 – 1.500 per kilogram, tapi di Malaysia antara Rp1.800 – 2.000 per kilogram. Artinya jika Kementerian Koordinator Investasi dan Maritim ingin menaikan harga diatas Rp 2.000 per kilogram maka bukan tidak mungkin TBS yang dijual ke Malaysia akan bergeser dijual ke dalam negeri, dan ini akan meningkatkan pendapatan negara.

Ditempat terpisah, Herman, Kabid pengendalian dan pengawasan usaha pertanian Dinas ketahanan Pangan dan Pertanian, Kabupaten Nunukan, membenarkan adanya perdagangan perkebunan tanpa surat-surat.
“Jadi memang ada penjualan TBS, kakao dan kopi yang dibawa ke Tawau, Malaysia melalui jalur perairan,” kata Herman kepada Media Perkebunan, saat ke kantor dinas.

Tidak hanya itu, lanjut Herman, ada juga yang dibawa melalui jalur darat ke pabrik kelapa sawit (PKS) Tek-Wan milik negara sebelah (Malaysia).
Adapun jumlah TBS yang dikirim pun tidaklah kecil, yakni mencapai 400 ton TBS per hari. Itu pun baru yang dari jalur sungai di bawa ke tawau, belum ditambah yang dari jalur darat ke PKS Tek-Wan. “Bahkan pihak Malaysia tidak membatasi kuota perkebunan dan tidak mempermasalahkan surat-surat dalam negeri atau dari indonesia,” risau Herman.

Baca Juga:  ASPEKPIR Indonesia Siap Menduduki Kantor Greenpeace

Artinya jika menurut bea cukai Nunukan pajak yang harus dibayar untuk mengeluarkan atau mengekspor TBS yakni US$ 211 per metrik ton dikalikan 400 ton TBS per hari, maka angka pajak yang hilang tidaklah kecil. Jadi jika di rupiahkan nilainya bisa mencapai ratusan juta yang hilang dalam satu hari

“Jadi melihat angka tersebut pendapatan negara yang hilang dari perdagangan tersebut tidaklah kecil,” tambah Herman.

Memang, Herman pun mengakui, perdagangan tersebut sudah ada sejak lama. Dahulu dikenal dengan nama perjanjian Sosek Malindo (Sosial Ekonomi Malaysia-Indonesia). Tapi perjanjian tersebut berupa barter atau sekedar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yakni masyarakat sekitar Pulau Sebatik dan Nunukan.

“Jadi dahulu masyarakat membawa komoditas pertanian yang dijual ke sebrang melalui jalur perairan. Setelah dijual, kemudian masyarakat membeli kebutuhan sehari-hari seperti sembako dan lainnnya. Tapi sifatnya hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup, karena jika menunggu sembako dari pulau Jawa cukup lama, atau sebulan sekali baru datang,” papar Herman.

Namun, lanjut Herman, sekarang kondisinya kan berbeda. Sebab diwilayah Indonesia sudah terdapat beberapa PKS. Contoh, di wilayah Pulau Sebatik sudah ada satu buah PKS yang sudah beroperasi sejak tahun 2018, dan di wilayah Nunukan terdapat 10 PKS. Artinya, mengapa harus menjual ke negara sebelah jika didalam negeri sudah terdapat PKS?

Sehingga dalam hal ini perdagangan yang dilakukan bukan lagi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, tapi lebih kepada binis. Sebab polanya yakni masyarakat menjual TBS untuk industri dan berapa pun jumlahnya akan dibeli.

“Kita maunya negara bisa bergerak. Sebab ini jatuhnya sudah bisnis, dan kerugian negara cukup besar. Ini bisa dilihat dari jumlah TBS yang keluar atau diekspor dikalikan dengan pajak ekspor (PE) yang berlaku saat ini,” pungkas Herman.

Baca Juga:  SUDAH SAATNYA PETANI SAWIT SWADAYA DIBINA SECARA INTENSIF OLEH SEMUA PIHAK