Jakarta, mediaperkebunan – Berdasarkan Kajian Lembaga Penyelidikan Ekonomi (LPEM) FEB Universitas Indonesia menyimpulkan bahwa kebijakan pengendalian harga minyak goreng perlu dilakukan oleh pemerintah secara lebih berhati-hati supaya tidak mengganggu mekanisme pasar industri sawit di dalam negeri. Kebijakan yang baik adalah yang seminimum mungkin mendistorsi pasar.
Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI, Eugenia Mardanugraha mengatakan, kebijakan pemerintah sebaiknya dapat meminimalkan distorsi terhadap pasar. Kebijakan pemerintah yang membatasi kegiatan ekspor berakibat tangki pabrik kelapa sawit (PKS) mengalami over kapasitas. Situasi ini berakibat pabrik sawit membatasi pembelian TBS dari petani.
Situasi ini membuat harga tandan buah segar (TBS) jatuh, dan membawa penderitaan kepada petani sawit, khususnya petani sawit swadaya, bukan petani plasma atau mitra. “Pembatasan ekspor crude palm oil (CPO), meskipun sementara dalam waktu singkat mendistorsi kegiatan perdagangan kelapa sawit dari hulu hingga hilir. Dampak negatif terbesar dirasakan oleh petani sawit swadaya karena harga TBS tidak kunjung menyesuaikan dengan harga internasional,” ujar Eugenia.
Hasil kajian LPEM UI ini disampaikan dalam Diskusi Virtual “Dampak Kebijakan Pengendalian Harga Minyak Goreng Bagi Petani Swadaya” yang diselenggarakan Majalah Sawit Indonesia. Hadir dalam diskusi ini antara lain Joko Supriyono (Ketua Umum GAPKI), Sahat Sinaga (Direktur Eksekutif GIMNI).
Eugenia pun menjelaskan bahwa hambatan ekspor sawit harus dikurangi atau bahkan dihapuskan. Lantaran regulasi dan perpajakan ekspor sawit saat ini terlalu banyak antara lain Bea Keluar, Pungutan Ekspor, Domestic Market Obligation (DMO), Domestic Price Obligation (DPO), Persetujuan Ekspor, dan Flush Out.
“Seluruh hambatan ekspor sebaiknya dikurangi bahkan dihapuskan. Pungutan ekspor tidak diberlakukan dan Bea Keluar (BK) perlu disederhanakan untuk memperlancar ekspor sampai harga TBS mencapai tingkat yang sesuai harapan petani swadaya,” jelas Eugenia.
Eugenia menyebutkan bahwa upaya meningkatkan harga TBS sawit petani membutuhkan dukungan peningkatan ekspor CPO dalam jumlah yang besar. Merujuk hasil kajian bahwa setiap peningkatan ekspor CPO satu persen mampu mengerek harga TBS rerata 0,33 persen. Itu sebabnya, sangat dibutuhkan banyak volume ekspor untuk mengembalikan keekonomian harga TBS petani.
“Dibutuhkan peningkatan ekspor sebesar 1.740 persen atau 17 kali lipat supaya harga TBS petani dapat meningkat dari 861 rupiah per kilogram (asumsi harga petani swadaya per 9 Juli 2022) menjadi 2.250 rupiah per kilogram,” urai Eugenia.
Peningkatan ekspor tersebut sangat memungkinkan karena Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekspor CPO sebesar 211 persen. Walaupun dibutuhkan waktu tujuh tahun, yakni pada April 2014 ekspor CPO Indonesia mencapai 1,37 juta ton menjadi 4,27 juta ton pada Agustus 2021.
“Kalau kita memulai dari harga awal TBS 1.380 rupiah per kilogram, maka dengan meningkatkan ekspor 200 persen atau sekitar dua kali lipat kita bisa mencapai harga TBS yang sesuai dengan harapan petani,” ujar Eugenia.
Akan tetapi, lanjut Eugenia, keinginan meningkatkan ekspor sawit terkendala biaya untuk melakukan ekspor CPO yang sangat tinggi sekarang ini. Menurutnya, semakin tinggi harga CPO, semakin berat biaya yang harus ditanggung oleh eksportir CPO. Kenaikan harga CPO seharusnya memberikan insentif bagi pelaku usaha untuk memperbesar volume ekspor. Sayangnya pemerintah menetapkan biaya yang bertingkat sesuai dengan kenaikan harga.
LPEM UI sepakat penghapusan kebijakan seperti DMO (Domestic Market Obligation) serta DPO (Domestic Price Obligation). Solusinya pemerintah menjadikan Pungutan Ekspor dan Bea Keluar dapat juga dijadikan instrumen untuk mengatur volume ekspor.
Sehingga dalam hal ini sebaiknya pemerintah melakukan penyesuaian terhadap kebijakan perdagangan yang mengganggu volume ekspor sawit sehingga memberikan dampak luas kepada harga TBS petani dan kondisi over kapasitas di tanki penyimpanan pabrik sawit. Keinginan pemerintah mempercepat ekspor sawit dapat terealisasi asalkan kebijakan yang mendistorsi pasar seperti Domestic Market Obligation, Domestic Price Obligation, dan Flush-Out dapat dihilangkan.
“Apabila suplai CPO di dalam negeri dianggap berkurang, maka pemerintah dapat meningkatkan tarif. Sebaliknya apabila ekspor ingin diperbesar, maka tarif diturunkan. Apabila instrumen tarif dapat berfungsi dengan baik sebagai pengendali ekspor,” ujar Eugenia.
Joko Supriyono, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sepakat hambatan ekspor sawit harus dikurangi karena Indonesia sebagai eksportir sawit terbesar di dunia idealnya menikmati surplus dan manfaat dari tingginya harga CPO di pasar dunia.
“Saya setuju apabila ekspor sawit dikurangi hambatannya Kebijakan ekspor sawit harus dikurangi menjadi dua saja bea keluar dan pungutan ekspor,” ujar Joko.
Diakui Joko, memang fokus pemerintah saat ini ekspor sawit kembali lancar dan meningkat. Walaupu di sisi lain, pemerintah juga konsen terhadap minyak goreng. Banyak spekulasi yang menyebutkan kalau ekspor dibebaskan maka minyak goreng susah lagi.
“Jadi kebijakan pemerintah harus satu paket. Idealnya ekspor berjalan maksimal dalam konteks devisa dan harga TBS. Di sisi lain, ketersediaan minyak goreng dalam negeri mencukupi dari aspek jumlah dan harga tertentu. Perlu kombinasi kebijakan yang baik,” tambah Joko.
Joko mengusulkan supaya pemerintah cukup memastikan pasokan sebanyak 2,5 juta ton minyak goreng untuk masyarakat kelompok tertentu. Namun, pemerintah jangan pula mengorbankan volume ekspor sawit yang mencapai 35 juta ton setiap tahunnya.
Menurut Joko, kebijakan DMO belum berjalan optimal saat ini karena kompleksitas dalam penerapannya, sehingga volume ekspor CPO dan RBD Olein belum normal yang berdampak rendahnya harga TBS petani. Pasca pencabutan larangan ekspor, kinerja ekspor CPO dan RBD Olein hanya 1,4 juta ton sepanjang Juni 2022.
“Sedangkan di bulan Juli, ekspor baru 1,2 juta ton memasuki minggu ketiga. Akibatnya, stok nasional diperkirakan 6,7 juta ton pada Juni. Padahal, stok normalnya sebesar 4 juta sampai 4,5 juta ton. Ekspor CPO dan RBD dikatakan normal jika volume ekspor bulanan telah mencapai 3 juta ton,” urai lulusan Fakultas Pertanian UGM ini.
Sahat Sinaga, Direktur Eksekutif Gabungan Industri Minyak Nabati Indonesia (GIMNI) menambahkan bisnis sawit porsi untuk pasar domestik hanya 35% dan sisanya 65% diekspor. Jadi ada yang terganngu terhadap pasokan ekspor, maka selesai semua dan ekspor itu no barrier. DMO dan DPO hapus,” ujar Sahat.
Untuk instrumen pengontrol harga minyak goreng, dia mengusulkan kebijakan tarif untuk menjaga suplai dalam negeri bisa terjamin. “Terpenting masyarakat penghasilan rendah memperoleh harga minyak goreng dengan subsidi bukan BLT,” ujar Sahat.
Sahat mengatakan, program minyak goreng curah tidak bisa diserahkan ke pihak swasta karena ada sekitar 17.00 titik distribusi seluruh Indonesia. “Untuik menjaga ketersediaan minyak goreng diserahkan ke pemerintah melalui Perum Bulog dan RNI, kenapa mereka tidak ditugasi mengurus distrubusinya, apalagi minyak goreeng termasuk 11 komoditas pangan strategis,” ungkap Sahat.