Dirut BPDPKS Eddy Abdurrahman bersedia melakukan dialog rutin dengan POPSI (Persatuan Organisasi Petani Sawit Indonesia). Gamal Nasir,Ketua Dewan Pembina POPSI menyatakan hal ini seusai pertemuan dengan Dirut BPDPKS. Turut menghadiri pertemuan anggota POPSI yaitu Mansesuetus Darto ( Sekjen Serikat Petani Kelapa Sawit), Alpian Rahman (Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia), Setiyono (Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit PIR Indonesia) dan Pahala Sibuea (Wakil Ketua Umum Sawit Masa Depanku).
“Pak Eddy orangnya sangat terbuka. Kita akan berdialog rutin entah tiga bulan sekali atau berapa bulan sekali tergantung situasi. Kita sama-sama punya tujuan sama untuk kesejahteraan petani sawit sehingga setiap permasalahan yang ada bisa didialogkan dan dicari jalan keluarnya,” kata Gamal.
Dalam kesempatan itu menurut Gamal, Dirut BPDPKS juga menyampaikan secara terbuka beberapa hal orang sering salah paham soal BPDPKS. Misalnya karena tujuan utama pendiriannya untuk sustainability sawit maka ekpetasi masyarakat besar sekali. Ada anggapan segala sesuatu soal keberlanjutan sawit harus ke BPDPKS.
Padahal BPDPKS adalah BLU yang berada di bawah Menkeu sehingga tata kelolanya tunduk pada aturan yang dibuat Kemenkeu. Pungutan ekspor oleh BPDPKS masuk kategori “uang negara” karena segala sesuatu yang dipungut dengan paksa masuk kategori pajak. Hanya karena pungutan pengelolaanya lebih fleksibel bisa digunakan langsung untuk kepentingan sustainable sawit. Kalau pajak harus masuk APBN dulu baru dialokasikan ke berbagai bidang.
Alokasi 72% ke biodiesel bukan kebijakan direksi BPDPKS. Direksi BPDKS tidak bisa membuat kebijakan sendiri tetapi harus menjalankan kebijakan yang ditetapkan Komite Pengarah yang beranggotakan 8 Menteri dengan Ketua Menko Perekonomian. Intensif biodiesel merupakan kebijakan komite pengarah yang harus dilaksanakan oleh direksi BPDPKS.
Mengenai PSR (Peremajaan Sawit Rakyat), BPDPKS juga hanya berada diujungnya saja yaitu pendanaan. Presiden Jokowi sudah menetapkan target peremajaan 500.000 ha dalam tiga tahun atau 180.000 ha/tahun.
“Kinerja Dirut BPDPKS salah satunya dinilai lewat PSR ini. Karena itu Eddy juga minta SPKS, Apkasindo, ASPEKPIR dan Samade untuk bekerjasama menpercepat. Bila sudah ada data yang pasti anggotanya yang siap PSR maka bisa disampaikan untuk segera ditindaklanjuti,” katanya.
Peremajaan ini diatur lewat Permentan nomor 7 tahun 2019 tentang Pengembangan Sumber Daya Manusia, Penelitian dan Pengembangan, Peremajaan serta Sarana dan Prasarana Perkebunan Kelapa Sawit. Aturan yang ada dalam Permentan ini bisa digunakan untuk mempercepat peremajaantetapi belum bisa dieksekusi karena masih menunggu petunjuk teknis yang disusun Ditjenbun.
Dalam pertemuan dengan POPSI berikutnya, Dirut BPDPKS akan berusaha melibatkan Dirjenbun juga. Jadi setiap permasalahan yang timbul di lapangan bisa segera ditindaklanjuti karena kewenangan PSR ini lebih banyak berada di Ditjenbun.
Demikian juga dengan Sarana dan Prasarana. BPDPKS sudah mengalokasikan anggaran Rp200 miliar tetapi belum bisa dieksekusi karena masih menunggu Pedum yang dibuat oleh Ditjenbun.
“Saya menyambut baik keterbukaan dan kesediaan dialog Dirut BPDPKS. Dengan cara ini kesalapahaman yang terjadi bisa diluruskan. Empat organisasi petani sawit anggota POPSI siap bekerjasama dengan BPDPKS untuk kesejahteraan petani sawit,” kata Gamal.