2nd T-POMI
2020, 7 Juli
Share berita:

Kakao dimata Bungaran Saragih, Menteri Pertanian periode 2000-2004, Guru Besar Agribisnis IPB, sampai saat ini berputar-putar di situ saja, tanpa ada kemajuan yang berarti. Sudah hampir jadi produsen nomor satu dunia sekarang malah mundur. “Ada paradigma yang salah dari semua pelaku bisnis kakao,” katanya dalam webinar Penyelamatan Industri Kakao dan Cokelat Indonesia yang diselenggarakan Media Perkebunan.id.

Paradigma masing-masing pemangku kepentingan tidak sama. Kakao adalah bisnis, bukan way of life. Sudah 20 tahun yang lalu kakao adalah bisnis. Kementerian Pertanian membina petani, Kementerian Perindustrian membina industri, masing-masing sibuk tetapi tidak nyambung. Pembinaan terlalu sektoral.

“Makanya kita tidak bisa jadi nomor satu dunia padahal seharusnya sudah. Agribisnis adalah pendekatan sistim usaha. Sawit bisa berkembang jadi nomor satu karena pengusahanya mau mengubah paradigma dengan menjadi inklusif. Industri kakao yang nasibnya tergantung pada petani harus lebih inklusif. Mereka tidak bisa masuk ke on farm karena dari awal sudah dikuasai petani,” katanya.

Kalau tidak inklusif maka industri hanya membuang waktu dan uang saja. Paradigma kapitalistik abad 19 yang untung sendiri harus diubah menjadi hidup bersama dengan suplier. Semua pihak jangan terlalu tergantung pada pemerintah. Peran pemerintah memang penting tetapi tidak semua hal bisa ditangani pemerintah.

Bisnis adalah peran petani dan pengusaha, tanggung jawabnya ada pada mereka. Tugas pemerintah adalah membantu yang berbisnis ini. Pemerintah berperan dalam fiskal, moneter dan perdagangan yang berpihak. Peran pemerintah hanya sampai disini saja. Tanpa keberpihakan pemerintah dalam tiga hal ini maka bisnis tidak akan bergerak.

Masalah lain adalah daya saing, posisi kakao Indonesia terus turun karena daya saing mundur atau negara lain lebih maju. Daya saing berkaitan dengan produktivitas dan kualitas sesuai tuntutan konsumen.

Baca Juga:  PPKS: Sawit Indonesia di Lahan Gambut Sudah 4 Generasi

Pasar kakao luar biasa besar, bukan saja pasar ekspor tetapi pasar dalam negerI juga. Indonesia sebagaImana dikatakan Presiden Jokowi sekarang termasuk dalam negara dengan pendapatan menengah sehingga konsumsi kakao yang menurut data 0,25 kg/kapita pertahun dalam waktu tidak lama lagi bisa naik jadi 0,5 kg, kemudian 1 kg, bahkan 2 kg, mengejar Eropa yang 6 kg.

Petani dan pengusaha harus melihat pasar ini. Pasar Eropa yang selama ini dilayani pabrik di sana bisa saja dalam 15-20 tahun mendatang pabriknya pindah ke sini. Potensinya luar biasa jadi jangan pesimis dengan kakao. Ubah paradigma bisnis untuk menangkap peluang pasar yang ada.

Industri harus berdaya saing sebab kalau tidak petani juga tidak berdaya saing. Industri harus inklusif dimana rakyat ikut didalamnya, jangan jadi penonton saja. Membantu petani harus menjadi kultur industri bukan terpaksa sehingga menjadi industri kakao Indonesia yang berdaya saing, inklusif dan jangan dilupakan sustainable.

Sustainainable adalah tetap mendapat untung dan membantu petani tetapi tidak merusak lingkungan, mengakui HAM, tidak ada pekerja anak. Kakao Indonesia belum ada kasus seperti itu. Peranan pemda sangat penting. Kalau ini dilakukan Bungaran yakin kakao bisa seperti sawit yaitu produsen nomor satu dunia.