Kalangan pengamat perkebunan mengungkapkan, Indonesia tidak memiliki data produksi kakao nasional yang akurat sehingga menjadi kendala target untuk meraih posisi sebagai produsen kakao terbesar di dunia.
Azwar AB, pengamat perkebunan, di Jakarta, Jumat menyatakan saat ini industri mengklaim bahwa produksi kakao nasional 350 ribu ton sementara menurut pemerintah sebanyak 700 ribu ton.
Namun, tambahnya, data pemerintah tidak mendapatkan pengakuan dunia yang mana ICCO (The International Cocoa Organization) mengutip angka yang diklaim industri atau asosiasi tertentu.
“Ketika pemerintah tidak dapat menyelesaikan disparitas angka produksi tersebut maka kita telah memasuki krisis data Kakao Indonesia. Karena tanpa adanya data yang akurat maka kita tidak punya standar untuk mengukur keberhasilan dari program yang kita laksanakan selama ini,” kata Azwar dalam keterangan tertulis yang dikirimkan ke perkebunan news.
Melihat hal itu, Azwar menyayangkan jika dunia internasional mengakui produksi kakao Indonesia hanya 350 ribu, sebab hal itu menunjukkan apa yang dilakukan pemerintah pusat dan segala kerja keras pemerintah daerah sepertinya menjadi tidak bernilai.
“Padahal fakta di lapangan banyak petani yang menikmati manfaat dari program pemerintah seperti Gernas dan Kakao Berkelanjutan,jelas Azwar.
Selain itu, menurut menurut Azwar, angka produksi nasional menjadi dasar pengambilan kebijakan, sehingga jika benar angka produksi nasional 350 ribu maka akan memberikan `justifikasi` membuka keran impor untuk memenuhi kebutuhan industri yang diperkirakan mencapai 600.000 ton/tahun.
Artinya, menurut mantan Direktur Rempah Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian itu angka 350 ribu ini diperoleh dari pendekatan formal dengan menjumlahkan kapasitas terpasang industri, ditambah biji kakao yang diekspor dikurang impor.
“Hanya pendekatan ini tidak memperhitungkan biji kakao yang keluar dari Indonesia lewat pasar gelap. Sedangkan angka dari Kementerian Pertanian dihitung berdasarkan produksi di kebun hasil perhitungan para mantri kebun,” ucap Azwar.
Atas dasar itulah, Azawar sangat meragukan mengenai akurasi data. Kedua angka itu bisa diragukan validitasnya.
“Artinya itu merupakan kewenangan pemerintah. Seharusnya pemerintah berani menetapkan angka nasional. Sekiranya angka yang ada meragukan, sebaiknya segera dialokasikan anggaran untuk pendataan menyeluruh atau dibentuk tim yang memverifikasi angka produksi kakao nasional,” tegas Azwar.
Hal senada disampaikan Ketua Komisi IV DPR RI Edhy Prabowo, bahwa pemerintah harus menyelesaikan segera disparitas angka ini agar tidak berlarut-larut.
Dengan adanya kekuatan di atas negara yang bisa menentukan angka produksi Indonesia, lanjutnya, pemerintah wajib menyampaikan protes kepada ICCO karena mengakomodir angka yang bukan berasal dari Kementerian Pertanian yang menangani perkebunan kakao.
“Jadi seharusnya juru bicara yang terbaik sebagai wakil dari stakeholder kakao adalah Dewan Kakao Indonesia yang mencakup seluruh komponen stakeholder dan bukan asosiasi tertentu,” ujar Edhy.
Oleh sebab itu, Edhy berharap, “pemerintah segera menyelesaikan masalah ini, jika perlu disiapkan tim khusus untuk menuntaskan masalah ini, mengingat perbedaan angka ini memiliki implikasi luas terhadap kebijakan nasional.” YIN